22 April 2011

Astrid Amalia di Fimela Luncheon: Perempuan, Ambisi, dan Persamaan Hak



Senang sekali bisa menghadiri Fimela Luncheon pada bulan April 2011. 


-----------------------

FIMELA Luncheon kali ini membahas hal yang sangat berkaitan dengan Hari Kartini. Yaitu soal perempuan, ambisi, dan persamaan hak. Penasaran? Baca terus.
Obrolan seru ini terjadi sambil menikmati makan siang suguhan Pesto Restauran, yang terletak di kawasan Thamrin. Hidangan khas Italia yang lezat, menemani luncheon saat itu.

Saat topik dilemparkan, keempat peserta langsung bergantian menyuarakan pendapat mereka. Di awali dengan Astrid Amalia, yang menganggap kalau perlakuan yang berbeda karena perbedaan gender memang masih sering terjadi, terutama di dunia kerja. Walaupun dia nggak mengalami secara langsung, tapi menurut Astrid, punya ambisi dalam bekerja sah saja. Perlakuan yang beda jangan dijadikan masalah besar atau hambatan. Posisi dan prestasi dalam bekerja itu salah satu pembuktian atau ajang menunjukkan jati diri. Selama bisa kompromi dengan pasangan dan nggak mengganggu keseimbangan keluarga, kenapa tidak?

Yulia Astuti mengungkapkan, fokus dan punya ambisi pada tujuan yang ingin kita capai atau dikejar adalah sesuatu yang positif. Asal nggak bertentangan dengan peran sebagai perempuan, alias harus tetap peduli dengan keluarga atau pasangan. Dan jangan sampai mengabaikan keluarga demi pekerjaan.

Perempuan boleh punya cita-cita setinggi mungkin, tapi jangan lupa dengan tanggungjawabnya sebagai ibu dan istri, begitu menurut Indah Julianti. Dan harus bisa menempatkan diri. Alias tetap tahu posisi sebagai perempuan.

Sambil menyantap main course masing-masing, para peserta mengatakan kalau sisi feminin perempuan justru bisa dijadikan poin lebih. Astrid memberikan contoh, banyak perempuan sukses nggak cuma mengandalkan kepintaran tapi juga penampilan yang menarik. Jadi perempuan harus bisa memanfaatkan apa yang dia punya untuk meraih sukses. Penampilan yang menarik jika dikombinasikan dengan kemampuan akan bisa meraih apapun yang dicita-citakan.

Diah Nurhaidah juga setuju kalau sisi feminin dan ambisi bisa dikombinasikan dan saling mendukung. Tapi yang harus diingat adalah, perempuan menurut kultur Timur memang punya posisi tertentu. Dan karena kita hidup di negara yang sangat menjunjung norma Ketimuran, sehingga nggak boleh lupa dengan kodrat yang ada, walaupun sudah meminta untuk punya hak dan kesempatan yang sama.

Astrid mengiyakan dan menambahkan, selama nggak melanggar norma dan hukum yang berlaku, serta nggak mengganggu orang lain, perempuan bisa mengerjakan apa saja dan jadi apa saja. Perbedaan gender itu hanya dalam pikiran orang. Hanya dalam mind set.

Menurut Indah, budaya timur memang membuat perempuan berada dalam posisi tertentu, karena didikan yang ada. Tapi kalau sekarang, cara mendidik pun udah beda, anak laki-laki dan anak perempuan dididik dengan perlakuan yang sama.

Yulia mengatakan, awalnya diminta adalah persamaan kesempatan. Tapi semakin kesini terjadi pergeseran. Jaman dulu memang perempuan posisinya di rumah, mengurus anak dan rumah. Secara fisik perempuan dan laki-laki saja beda. Jadi kalau mau disamakan, mau punya kesempatan yang sama, perempuan juga musti ingat kalau ada keterbatasan yang natural, keterbatasan secara fisik. Begitu juga buat laki-laki, ada hal yang nggak dipunyai. Dan perempuan harusi tetap ingat posisinya.

Sambil menikmati tiramisu atau pannacota, yang menjadi pilihan penutup siang itu, semua setuju kalau perempuan boleh saja menuntut kesempatan, boleh saja meminta persamaan hak, tapi harus menerima resiko dan konsekuensi yang ada dari kesempatan yang diberikan. Dan yang pasti nggak menyalahgunakan dan mengatasnamakan persamaan hak untuk hal-hal yang negatif.

Menarik, kan? Pastinya!