09 January 2006

Tidur di bawah langit

A : Udah sana, tidur gih. Katanya ngantuk.

B : Iya, udah nih. Tinggal nutup laptop, berbaring dan memejamkan mata. Tidur di bawah langit dan bintang.

A : Hah, tidur di bawah langit? Yang bener?

B : Iya, beneran.



Itulah sekilas percakapan antara saya dan seorang teman yang sekarang sedang ditugaskan di salah satu tempat bencana Tsunami berlabuh, yaitu Aceh.

Dari sini saya kok jadi teringat bahwa saya pun pernah mencicipi tidur di bawah langit semalam saja. Ini terjadi ketika ada acara outbound di salah satu tempat pegunungan di luar kota Jakarta. Saya memang bandel banget waktu itu karena tidak mau tidur di salah satu tenda yang telah disediakan. Saya lebih memilih untuk tidur di luar tenda dan menikmati dinginnya malam, indahnya sinar cahaya bulan yang dikelilingi oleh cahaya bintang yang jumlahnya puluhan dan merdunya orkestra alami yang dimainkan oleh paduan suara jangkrik dan kodok. Indah sekali malam itu. Paling tidak, saya waktu itu menyadari bahwa Tuhan selalu menciptakan yang indah yang kadang terlewatkan oleh manusia. Kalau di tengah kota Jakarta yang macet dan hiruk pikuk itu, apakah saya menyadari akan indahnya malam dari dalam rumah saya? Ah, saya ternyata kebanyakan beraktifitas dan lupa bercinta dengan alam.
Dari situ juga, saya kemudian berpikir lebih lanjut tentang aktifitas tidur di bawah langit ini. Apa yang saya kerjakan waktu itu hanya terjadi semalam saja. Pemikiran saya, kalau cuma semalam sih memang enak karena sesekali memang kita harus mencari suasana yang berbeda, tapi kalau tidur di bawah kaki langit itu ternyata dilakukan sebagai bagian dari keadaan dan situasi seperti apa yang terjadi pada teman saya itu, bagaimana ya? Dari situ, pemikiran saya pun mengembara ke para manusia kurang beruntung lainnya yang karena situasi dan kondisi mereka akhirnya harus tidur di bawah langit, seperti para pengemis, orang yang tidak punya rumah, dll. Ah, hati saya pun langsung trenyuh memikirkan itu. Betapa menderitanya mereka yang harus hidup di luar tanpa rumah, bagaimana mereka harus melawan dinginnya malam, derasnya hujan dan teriknya matahari.
Akhirnya saya cuman bisa bersyukur bahwa saya masih mempunyai tempat berlindung dimana saya bisa terhindar dari hal-hal yang tidak baik. Saya pun harus bersyukur bahwa keadaan saya tidak jelek-jelek amat. Paling tidak, keadaan saya lebih baik dari mereka-mereka yang ada di jalanan sana dan ini semuanya karena telah dicukupkan oleh Tuhan. Terima kasih, Tuhan, atas segala-galanya. Amin.
Salam,
Astrid


No comments:

Post a Comment